
Sinergia | Kab. Magetan – Satu per satu jendela ditutup lebih awal di sudut Totog, Kelurahan Maospati, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Suara tawa anak-anak yang biasa riuh di lorong-lorong sempit tak lagi terdengar. Hanya angin sore yang membawa sunyi, menyusup ke rumah-rumah mungil berukuran tak lebih dari 4×5 meter, tempat 18 keluarga kini menyimpan ketakutan yang sama yakni kehilangan tempat tinggal.
Waktu mereka kian menipis. Pemerintah setempat menetapkan batas akhir pengosongan rumah tinggal hanya sepekan lagi. Namun yang lebih menghimpit bukan hanya waktu, melainkan kenyataan bahwa penggusuran ini datang bertepatan dengan momen yang mestinya penting bagi anak-anak, yaitu ujian kenaikan kelas.
Lima anak usia sekolah di Totog kini hidup dalam dua dunia yang saling berbenturan, dunia belajar yang menuntut ketenangan, dan dunia nyata yang penuh kegelisahan. Buku pelajaran terbuka, tetapi pikiran mereka melayang, ke mana mereka akan pergi setelah rumah ini tiada?
“Anak saya itu masih kelas 4 SD, Mas,” ujar Sugeng Riyono, warga Totog, dengan suara yang serak tertahan. “Dia nanya terus, ‘Pak, nanti kita pindah ke mana?’ Saya cuma bisa diam. Gimana saya bisa jawab, kalau saya sendiri nggak tahu?” terangnya.
Bagi sebagian warga, kecemasan ini lebih dari sekadar soal tempat tinggal. Ada yang harus memikul beban lebih berat dalam sunyi. Seperti Supartini, nenek berusia 70 tahun yang kini menjadi satu-satunya sandaran hidup bagi dua cucunya yang yatim piatu. Salah satu dari mereka masih duduk di bangku SD, sementara yang lain terpaksa berhenti sekolah karena tak ada biaya.
Dengan tubuh renta, Supartini mencari nafkah sebagai tukang pijat keliling. Di sela kesibukannya, ia juga menyisakan kasih untuk tetangganya, Karyadi, seorang tunanetra yang kini hidup sendiri sejak istrinya meninggal.
“Kalau ada rejeki, saya bagi. Hidup begini, kalau nggak saling tolong, nggak kuat,” katanya lirih, menunduk.
Di rumah-rumah yang dulunya penuh harap, kini setiap dinding seakan menyimpan bisikan kegelisahan. Warga hanya ingin tetap tinggal di tempat yang mereka sebut rumah. Mereka ingin anak-anak mereka belajar tanpa takut, tidur tanpa mimpi buruk tentang relokasi, dan tumbuh tanpa harus kehilangan akar kehidupan.
“Kalau relokasi ini jadi, kami mau ke mana? Saya ikut anak saya pun nggak bisa, mereka sendiri masih ngontrak,” ucap Supartini, menahan harap.
Di balik genteng-genteng tua dan lantai yang mulai retak, ada hati-hati kecil yang tengah mencoba memahami arti kehilangan. Besok mereka akan mengerjakan ujian. Namun tak ada yang tahu, apakah setelah itu mereka masih bisa pulang ke rumah yang sama, ke sudut yang mereka kenal sejak lahir.
Pemerintah boleh bicara soal rencana, tapi warga Totog berbicara tentang kenyataan. Tentang bagaimana mereka ingin bertahan, saling menopang, dan tetap hidup meski dalam sempit dan susah.
Kusnanto – Sinergia