
Sinergia | Magetan – Di saat banyak anak muda bermimpi bekerja di kota besar dengan penghasilan tinggi, dua pemuda asal Desa Becok, Kecamatan Kartoharjo, Kabupaten Magetan, justru memilih jalan berbeda. Mereka menekuni dunia pertanian dan membuktikan bahwa bertani juga bisa keren, modern, dan menjanjikan.
Adalah Yusril Anwar (24), lulusan salah satu universitas di Ponorogo, dan rekannya Herbet Romadoni, yang memiliki pengalaman lima tahun bekerja di Jepang. Keduanya kini menjadi inspirasi baru bagi petani muda dengan menciptakan inovasi alat semprot pestisida modifikasi yang mampu menjangkau hingga 12 meter, jauh lebih efisien dibandingkan alat semprot konvensional.
“Kami ingin menunjukkan kalau bertani itu bisa maju dan sejahtera, apalagi kalau dipadukan dengan teknologi,” ujar Yusril saat ditemui di lahan sawah milik keluarganya, Selasa (28/10/2025).
Ide awal muncul secara sederhana. Saat sedang berbincang santai, Herbet menunjukkan rakitan alat semprot yang terinspirasi dari video petani Thailand di TikTok. Yusril kemudian mengusulkan agar hasil rakitan itu dibuatkan konten.
“Awalnya cuma iseng bikin video. Ternyata viral, dan dari situ pesanan mulai berdatangan,” cerita Yusril.
Video yang diunggah melalui dua akun TikTok, Kang Tani Muda dan COTH Garage (Company of Technology Handmade), ditonton puluhan ribu kali dan menarik perhatian pembeli pertama dari Bali. Sejak itu, keduanya resmi mendirikan COTH Garage, bengkel kreatif yang memproduksi alat semprot pestisida modifikasi.
Menurut Yusril, alat semprot hasil modifikasi mereka mampu memangkas waktu kerja hingga tiga kali lebih cepat. Jika biasanya proses penyemprotan sawah membutuhkan waktu sekitar satu jam, kini hanya memerlukan 20 menit tanpa mengurangi kualitas hasil panen.
Saat ini, produksi alat semprot tersebut masih terbatas. “Dalam sebulan baru bisa menjual sekitar lima sampai enam unit karena keterbatasan tenaga dan modal. Harganya berkisar antara Rp2 juta sampai Rp3 juta per unit,” ungkapnya.
Meski berhasil menarik perhatian publik, perjuangan mereka tak lepas dari berbagai tantangan. Cuaca yang tidak menentu, fluktuasi harga gabah, serta naiknya biaya pupuk dan pestisida menjadi kendala utama.
“Harga padi sempat turun dari Rp7.200 jadi Rp6.500 per kilogram. Sementara biaya produksi naik. Kami berharap ada pelatihan dan dukungan agar petani muda bisa tetap bertahan,” kata Yusril.
Bagi Yusril dan Herbet, bertani bukan hanya soal menanam padi, tapi juga tentang inovasi, kolaborasi, dan keberanian mencoba hal baru. Keduanya memaknai Ketahanan Pangan Nasional bukan sekadar slogan pemerintah, melainkan aksi nyata yang dimulai dari desa.
“Dari lumpur sawah inilah masa depan pangan Indonesia tumbuh. Kami ingin membuktikan bahwa generasi muda juga bisa berperan besar menjaga ketahanan pangan,” tutup Yusril dengan senyum bangga.
Kusnanto – Sinergia