
Sinergia | Ponorogo – Kompleks Makam Tegalsari di Kecamatan Jetis kembali dipadati ribuan peziarah pada peringatan Hari Santri Nasional, Selasa (22/10/2025). Meski diguyur gerimis sejak pagi, arus peziarah tidak surut. Mereka datang dari berbagai daerah untuk berdoa dan menziarahi makam para ulama besar pendiri peradaban Islam di Jawa.
Di kompleks makam yang berada satu kawasan dengan Masjid Tegalsari itu bersemayam tokoh besar seperti Kyai Ageng Muhammad Besari bersama istri serta keturunannya Kyai Ilyas bin Muhammad Besari, Kyai Kholifah bin Muhammad Besari, Kanjeng Kyai Bagus Hasan Besari, hingga Kyai Imam Sibaweh bin Kyai Kholifah. Nama-nama itu tercatat memiliki peran penting dalam sejarah pendidikan Islam di Nusantara.
Sejarah menyebut Tegalsari merupakan pusat pendidikan Islam pada abad ke-18 melalui Pesantren Gebang Tinatar yang didirikan Kyai Ageng Muhammad Besari. Pesantren itu kemudian melahirkan banyak intelektual, bangsawan, hingga tokoh politik dari berbagai wilayah, termasuk pujangga besar Jawa Ranggawarsita.
“Komplek makam ini tidak pernah sepi peziarah. Setiap bulan selalu ada rombongan santri yang datang untuk berziarah dan beriktikaf,” ujar Djamaludin, perawat ndalem Ageng Tegalsari, saat ditemui di lokasi
Menurutnya, hari-hari tertentu, terutama menjelang Ramadhan, Maulid Nabi, dan Hari Santri, jumlah peziarah membludak hingga memenuhi area kompleks masjid. “Tradisi ziarah ini menjadi sarana menyambung sanad keilmuan dan napak tilas perjuangan para ulama,” katanya.
Peringatan Hari Santri juga menjadi momentum pembelajaran sejarah bagi generasi muda. Ratusan siswa dari Sekolah Rakyat Terintegrasi (SRT) 5 Ponorogo terlihat mengikuti doa bersama di kompleks makam. Mereka datang usai mengikuti apel Hari Santri di Alun-Alun Ponorogo.
“Kami membawa sekitar 100 siswa dari tingkat SD hingga SMA. Tujuannya agar mereka mengenal lebih dekat perjuangan Mbah Ageng Besari dalam menyiarkan Islam,” kata Venus Ihsa Mukhofi, Wakil Kepala SRT 5 bidang kesiswaan.
Ia menilai ziarah makam ulama tidak hanya mengandung nilai spiritual, tetapi juga pendidikan karakter. “Anak-anak bisa belajar tentang keteladanan, keilmuan, dan perjuangan tokoh agama dalam membangun peradaban,” ujarnya.
Tidak hanya masyarakat umum, makam Tegalsari juga kerap diziarahi tokoh nasional maupun pejabat negara. Tradisi spiritual sekaligus penghormatan terhadap pendiri pesantren ini telah berlangsung turun-temurun.
Hal yang sama diakui Imam Turmudzi, peziarah asal Blitar yang datang bersama rombongannya. “Tegalsari ini salah satu cikal bakal lahirnya pondok pesantren di Indonesia. Sangat wajar jika tempat ini menjadi rujukan ziarah bagi umat Islam,” ucapnya.
Ia menambahkan, ziarah ke makam ulama menjadi bagian dari perjalanan spiritual mereka yang akan dilanjutkan ke sejumlah situs religi lain di Jawa Timur.
Meski berusia ratusan tahun, kompleks Masjid dan Makam Tegalsari terawat dengan baik. Pengelola tetap mempertahankan tradisi serta nilai sejarah yang melekat kuat di lokasi tersebut. “Ini bukan sekadar situs makam, tapi pusat peradaban Islam yang masih hidup hingga kini. Warisan leluhur ini harus terus dirawat agar generasi mendatang tidak kehilangan jejak sejarahnya,” tutur Djamaludin.
Ega Patria – Sinergia