
Sinergia | Kab. Magetan – Dahulu menjadi menu santapan para raja Mataram, kini Sego Menok justru menjadi favorit masyarakat di sudut pelataran Pasar Penampungan Sayur Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Adalah Mbah Rubinah, seorang nenek berusia 83 tahun, yang mempertahankan kuliner klasik ini agar tetap hidup dan akrab di lidah rakyat.
Setiap sore, Mbah Rubinah menjajakan dagangannya secara lesehan tanpa papan nama, tanpa spanduk. Hanya beralaskan tikar, tapi dari tangannya, ratusan bungkus makanan ludes dalam hitungan jam.
“Dalam sehari saya bisa jual antara 300 sampai 400 bungkus. Tapi nasi menok-nya sendiri cuma sekitar 100 bungkus. Yang lainnya lauk pauknya seperti bothok, pelas, dan urap,” ungkapnya saat ditemui, Selasa (10/06/2025).
Nasi menok dikenal dengan cita rasa gurih yang khas, berkat olahan santan dan rempah-rempah tradisional. Menu ini dulunya dikenal sebagai makanan favorit raja-raja Islam dari Kerajaan Pajang hingga Mataram di Surakarta.
Kini, dengan harga hanya Rp5.000 per bungkus, siapapun bisa menikmati menu bersejarah ini. Nasi menok disajikan bersama pelengkap seperti bothok teri, pelas kedelai hitam, dan urap sayur, menjadikannya pilihan murah meriah nan bergizi.
“Dulu ini makanan keraton, tapi sekarang alhamdulillah masih bisa dinikmati banyak orang. Rasa dan cara masaknya tetap seperti dulu,” ujar Mbah Rubinah.
Mbah Rubinah mengaku tidak mengetahui secara pasti asal-usul resep yang diwariskan kepadanya. Namun, ia menyebut kedua orangtuanya berasal dari Surakarta dan membawa resep tersebut saat pindah ke Magetan.
“Kata orang tua saya, resep ini dulu dibawa oleh juru masak keraton yang mengungsi waktu zaman perang. Dari mereka, turun ke orang tua saya, lalu ke saya,” katanya.
Dulu, masih ada beberapa penjual nasi menok lainnya di kawasan tersebut. Tapi kini, hanya Mbah Rubinah yang tersisa. Ia menyayangkan tak ada generasi muda yang tertarik meneruskan usaha ini.
“Anak-anaknya mungkin lebih pilih kerja lain. Sekarang tinggal saya sendiri yang masih jualan,” tuturnya pelan.
Sego menok kini menjadi santapan sehari-hari para pedagang pasar, buruh angkut, dan sopir truk yang hilir mudik di sekitar Pasar Plaosan. Meski bukan lagi bagian dari jamuan bangsawan, sego menok tetap menyimpan rasa otentik dan nilai sejarah.
Lebih dari sekadar makanan, bagi Mbah Rubinah, nasi menok adalah warisan keluarga, simbol ketekunan, dan cinta pada tradisi.
“Selama masih ada yang mau beli, saya akan tetap masak. Ini bukan cuma soal jualan, tapi juga menjaga resep peninggalan orang tua,” tutupnya.
Kusnanto – Sinergia