
Sinergia | Lumajang – Suasana religius kembali menyelimuti kawasan kaki Gunung Semeru, Sabtu (19/07/2025), saat ribuan umat Hindu memadati Pura Mandara Giri Semeru Agung di Desa Senduro, Kabupaten Lumajang. Kehadiran mereka adalah bagian dari perayaan Piodalan, yaitu upacara sakral ulang tahun pura yang digelar setiap 210 hari menurut kalender Bali.
Piodalan tahun ini berlangsung meriah dan khidmat. Meskipun tidak termasuk dalam siklus besar seperti Tawur Agung Panca Wali Krama yang terakhir digelar pada 2024, umat tetap menunjukkan antusiasme tinggi untuk menghaturkan bhakti dan doa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
“Ini adalah momen spiritual penting bagi kami. Walaupun bukan Panca Wali Krama, makna piodalan tetap dalam sebagai ungkapan syukur dan penyucian diri,” ujar Jero Mangku Ketut Sudarma, salah satu pemangku pura.
Rangkaian Upacara Berlangsung Sejak Awal Juli

Piodalan tahun 2025 diawali dengan ritual matur piuning, melasti ke Pantai Selatan, dan mupuk pedagingan. Prosesi puncak digelar Sabtu pagi, ditandai dengan persembahyangan akbar yang diikuti ribuan pemedek dari berbagai daerah, termasuk Bali, Banyuwangi, Jember, dan Pasuruan.
“Pura ini bukan hanya pusat ibadah, tapi simbol koneksi spiritual Gunung Semeru dengan Gunung Agung di Bali. Itu sebabnya setiap piodalan selalu menjadi daya tarik bagi umat Hindu lintas daerah,” jelas I Wayan Putra, umat dari Karangasem, Bali.
Sinergi Antarwilayah dan Dampak Ekonomi Warga

Kehadiran umat dari luar daerah menjadi berkah tersendiri bagi warga Senduro. Homestay sederhana, warung makan, hingga kios oleh-oleh tampak dipadati pengunjung sejak beberapa hari terakhir.
“Sejak tiga hari lalu, rumah kami sudah penuh dengan tamu dari Bali. Mereka menginap, makan, dan belanja di sekitar pura,” ujar Sulastri, warga lokal yang juga pengelola penginapan rumahan.
Pemerintah Kabupaten Lumajang turut memfasilitasi kelancaran acara dengan menyiagakan personel gabungan untuk pengaturan lalu lintas, kebersihan, dan pelayanan kesehatan di area pura.
Nilai Budaya dan Spiritualitas Tetap Dijaga
Piodalan bukan sekadar tradisi keagamaan, tapi juga wahana pelestarian budaya. Umat yang hadir mengenakan pakaian adat lengkap, membawa sesajen, dan mengikuti rangkaian upacara dengan tertib dan penuh kekhusyukan.
Sejumlah ritual simbolik juga dilaksanakan, seperti pembagian gelang Tridatu (merah-putih-hitam) sebagai pengingat kekuatan Tuhan dalam manifestasi Brahma, Wisnu, dan Siwa.
“Piodalan ini adalah pengingat bagi kita semua untuk selalu menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan,” ungkap I Gusti Ayu Yuli, tokoh perempuan Hindu asal Situbondo.
Harmoni di Kaki Mahameru
Pura Mandara Giri Semeru Agung dibangun pada 1991 dan diresmikan pada 1992 sebagai tempat suci umat Hindu Jawa Timur yang mengacu pada kesucian Gunung Semeru sebagai Mahameru, pusat alam semesta menurut kepercayaan Hindu.
Di tengah situasi sosial yang kerap bergejolak, Piodalan menjadi ruang teduh bagi umat Hindu untuk merajut ketenangan, mempererat persaudaraan, dan merawat jati diri spiritual.
“Semeru tidak hanya gunung, tapi simbol keagungan dan ketenangan. Melalui piodalan, kami belajar kembali pada makna hidup yang seimbang,” pungkas Jero Mangku.
Kusnanto – Sinergia